Anna lahir pada tahun 1783 dan tinggal di desa kecil yang letaknya ditepi Sungai Han, Korea Selatan. Keluarganya juga merupakan umat Katolik yang taat. Meskipun, Anna mengalami kesulitan untuk menghafalkan doa-doa dasar katekese Katolik dalam bahasa Latin, Anna tetap mencintai Allah dengan sepenuh hati dan ia berkata, “Saya tidak dapat mengenal Allah sebanyak yang saya inginkan namun saya dapat berusaha untuk mencintai Dia dengan sepenuh hati.”
Diusia 18 tahun, Anna menikah dengan Fransiskus T’ae Mun-haeong dan mereka dikarunia 2 orang putra serta 3 orang putri. Anna berusaha membesarkan anak-anaknya dengan baik dan juga mendidik dalam kebijakan iman. Mereka hidup sederhana, tetapi selalu mengusahakan hidup dengan adil.
Disisi lain, Anna mempunyai devosi kepada Kisah Sengsara Tuhan dan merenungkan 5 Luka Yesus dengan air mata. Ketika penganiayaan umat Katolik ditahun 1801 sudah mulai merajalela, Anna menjelaskan mengenai martir Kristus dan juga menceritakan kerinduannya untuk mendapatkan mahkota kemartiran.
Pada bulan Maret 1836, Fransiskus T’ae Mun-haeong dan putra sulung Anna yang bernama Ung-chon ditangkap, disiksa serta dipenjara. Karena tidak tahan dengan siksaan tersebut, suami dan putra sulungnya pun murtad mengingkari iman mereka. Meski begitu, Anna tetap pada imannya dan tidak tergoyahkan. Walaupun disiksa begitu berat, rasa sakit siksaan itu tidak sebanding dengan rasa sakitnya ketika mengetahui bahwa suami dan anak sulungnya murtad meninggalkan iman Katolik.
Setelah bebas dari penjara, suami dan putra sulung Anna, selalu datang menjenguk serta membujuk Anna untuk ikut murtad dari iman Katolik demi keselamatan dirinya. Tak hanya dari keluarga, bahkan beberapa teman Anna juga datang untuk membujuknya. Namun, itu semua tidak membuat Anna goyah dan berubah pikiran. Sampai suatu hari, Anna sempat merasa ragu dan ia ingin menyangkal imannya. Ia juga merasa rindu ingin kembali bersama keluarganya. Akan tetapi, dengan bercucuran air mata, Anna menolak permintaan keluarganya untuk murtad dan ia memohon kepada keluarganya untuk bertobat.
Seorang sipir penjara pun mencoba untuk membujuk Anna agar ia mengikuti jejak suami dan anaknya. Lalu, Anna berkata, “Kemurtadan suami dan putra saya adalah urusan mereka. Apa hubungannya dengan saya? Walau mereka telah murtad, saya memilih untuk mempertahankan iman saya dan mati untuk itu.” Kemudian, didalam persidangan hakim masih berusaha membujuk Anna agar menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan iman Katolik. Anna pun berkata lagi, “Itu keinginan mereka sendiri. Keinginan saya adalah mati bagi Tuhan.” Anna disiksa dengan begitu hebat, dipukuli sampai kulitnya terlepas dan tulangnya kelihatan.
Setelah 3 tahun didalam penjara, Anna dijatuhi hukuman mati pada tanggal 10 Mei 1839 dengan tuduhan membaca buku-buku sesat dan gambar-gambar yang jahat. Anna yang berusia 57 tahun saat itu dieksekusi mati dengan hukum penggal bersama dengan 8 martir Korea lainnya pada 24 Mei 1839 diluar Pintu Gerbang Kecil Barat, Seoul, Korea Selatan.
Anna Pak A-Gi dan 8 martir Korea lainnya pun divenerasi 9 Mei 1925 (decree of martyrdom) dan dibeatifikasi 5 Juli 1925 oleh Paus Pius XI, serta dikanonisasi 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.