Tunas Itu Tumbuh
Secara resmi menjadi Paroki dibawah Keuskupan Agung Jakarta sejak tanggal 26 November 1986 dengan Surat Keputusan Keuskupuan Agung Jakarta No. 1590 / 3.25.2 / 86. Wilayah Paroki baru ini mencakup Kompleks Perumahan Sunrise Garden, Green Ville, Taman Ratu Indah, Taman Cosmos, Green Garden, dan kawasan sepanjang jalan Raya Kedoya dari Pasar Pesing hingga Kepa Duri.
Paroki Kedoya memilih Santo Andreas sebagai pelindung. Menurut Pastor Ign. Soesilasoewarna MSC, Pastor Paroki Pertama Paroki Kedoya, dasar pemilihan nama St. Andreas sebagai pelindung tidak lain karena tanggal 26 November berdekatan dengan hari peringatan St. Andreas yaitu tanggal 30 November. Hal yang terpenting sebenarnya, dalam Gereja Katolik kita ketahui bahwa Santo Andreas dikenal sebagai rasul pertama yang mengikuti Yesus. Dalam Kitab Suci, St. Andreas disebutkan sebagai sosok yang berprofesi sebagai seorang nelayan. Pertama – tama ia bertemu dengan Yesus ketika ia dan saudaranya Simon Petrus sedang menjala ikan (bdk Mrk 4:18) di danau Genesareth. Pada akhirnya, dua bersaudara ini rela meninggalkan segala–galanya dan mengikuti Yesus dengan penuh antusias. Kesetiaan imannya kepada Yesus tidak diragukan. Ia mengikuti Yesus secara total, bahkan kemudian ia rela mati dikayu salib. Diharapkan umat di Paroki baru ini nanti dapat meneladani St. Andreas baik dalam kesetiaan maupun totalitasnya sebagai murid Kristus.
Ketika menetapkan Paroki baru ini sebagai Paroki definitif, Uskup Leo Soekoto SJ juga sekaligus mengangkat Pastor Ign. Soesilasoewarna MSC sebagai Pastor Kepala Paroki yang dibantu Bapak Andreas Yootje Yoprang sebagai Wakil Ketua Dewan Paroki merangkap anggota PGDP / Pengurus Gereja dan Dana Papa. Namun tidak lama sesudah itu Bapak A. Yootje Yoprang pindah ke California, Amerika Serikat sehingga Bpk. Thomas Kristijono yang menggantikannya.
Kepengurusan Dewan Paroki pertama ini dilantik oleh Sekretaris KAJ, Pastor Martosudjito pada tanggal 11 Oktober 1987.
Saat diresmikan, Paroki Kedoya mencakup empat wilayah dan sepuluh lingkungan. Seksi-Seksi pun sudah mulai melayani umat, yaitu :
1. Seksi Katekese dipimpin oleh Ibu Mariawati Wibisono
2. Seksi Liturgi dipimpin Bapak A. Bambang Pr.
3. Seksi Sosial dipimpin Bapak Y. Iwan Sulistio
4. Seksi Perlengkapan dipimpin Bapak Antonius Wirawan
5. Seksi Media Komunikasi dipimpin Bapak Hadi Koesmanto
Pada tahun 1987 terbentuk pula Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDDK) yang dipimpin oleh Bapak Richard Irahadi. Anggotanya tidak hanya dari Paroki Kedoya saja tetapi bergabung juga umat dari Paroki Cideng, Kemakmuran, Kristoforus dan Maria Bunda Karmel.
Pada tahun yang sama, pada tanggal 12 Agustus 1987 Wanita Katolik Cabang St. Andreas diresmikan sebagai anggota Cabang ke-30 Wanita Katolik Republik Indonesia dengan ibu Lily Kusnardi sebagai Ketua. Ada tiga ranting yang sudah siap pada saat itu yakni Ranting Sunrise Garden, Ranting Taman Ratu, dan Ranting Ignasiana. Kehadiran WKRI di Paroki Kedoya sangat positif bagi perkembangan Paroki ini ke depan. Hampir dalam setiap derap langkah penting di Paroki ini WKRI selalu mengambil peran penting.
Sejauh itu, perayaan Misa Ekaristi masih diadakan di Kompleks Pertokoan Sunrise Garden yang mendapat pinjaman 3 (tiga) unit bangunan toko yang cukup luas untuk menampung seluruh umat. Peralatan dan perlengkapan misa yang dipakai pun masih sangat sederhana berasal dari sumbangan umat. Karena tempat ibadah ini bukan tempat yang permanen, maka kehadiran Seksi Perlengkapan pada masa itu sangat penting. Bapak Anton Wirawan dan Bapak Sosrohadi setiap minggu sibuk “menyulap” ruko ini agar menjadi tempat ibadat yang layak. Mereka menyiapkan berbagai perlengkapan misa mulai dari lilin, tempat lilin, salib sampai pakaian PPA dan Pastor. Pagi-pagi sebelum misa pukul 08.00 Pak Anton dan pak Sosro sudah ada di sana. Setelah misa pun mereka pulang paling akhir, karena semua fasilitas misa harus dibawa pulang sebab saat itu belum ada ruang sakristi untuk menyimpan peralatan misa di ruko ini.
Masih pada tahun 1987, Bapak Hadi Koesmanto berinisiatif menerbitkan sebuah media komunikasi Paroki. Inisiatif tersebut mendapat persetujuan dari Pst. Ign. Soesilasoewarna MSC dan Wakil Ketua Dewan Paroki Bapak Thomas Kristijono. Maka bersama kawan-kawannya Bapak Hadi Koesmanto menerbitkan sebuah majalah Paroki dengan nama “Warta Andreas” pada bulan Oktober 1987. Awalnya W.A. terbit dengan 18 halaman dan baru pada tahun 1989 terbit dengan 34 halaman dan kadang-kadang lebih. Karena Warta Andreas terbit belum teratur maka dirasakan perlu melengkapinya dengan lembaran informasi mingguan yang kemudian diberi nama “IMAN” atau “Informasi Mingguan St. Andreas”. IMAN berisi informasi penting yang perlu segera disampaikan kepada umat tentang jadwal tugas gereja (koor, tata tertib dll),
Perkembangan lain yang layak untuk dicatat adalah dibentuknya Seksi Sosial Paroki (SSP) pada tahun 1988. SSP dibentuk dengan misi memberikan pelayanan sosial kemanusiaan kepada masyarakat sekitar. Oleh karena itu, sejak awal SSP bergerak pada bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan bantuan untuk keluarga yang berduka (bekerja sama dengan St. Yusuf – Paroki St. Kristoforus). Pedoman kerja SSP ini diputuskan dalam rapat Seksi Sosial Paroki awal Desember tahun 1987 yang sampai kini telah mengalami beberapa kali penyempurnaan dengan membentuk sub Seksi sebagai berikut:
1. Sub Seksi pelayanan pendidikan dan ketenagakerjaan
2. Sub Seksi pelayanan kesehatan
3. Sub Seksi pelayanan pinjaman
4. Sub Seksi kematian
Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya SSP dibantu oleh Seksi Sosial Lingkungan (SSL). Hal ini dilakukan agar pelayanan kepada umat dan masyarakat bisa cepat dan konkrit. Beberapa program yang selalu dilakukan oleh SSP adalah pelayanan pengobatan cuma-cuma kepada masyarakat sekitar (1 s/d 2 kali dalam setahun), bantuan ke Posyandu di RT/RW seputar Gereja, orang tua asuh, pelayanan pinjaman dan Balai Pengobatan St. Andreas. Ide mendirikan Balai Pengobatan St. Andreas (BP) muncul terutama untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat setempat dan menciptakan persaudaraan serta toleransi agar kehadiran Gereja St.Andreas di Kedoya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sekitarnya.
Kunjungan Perdana Uskup
Tanggal 14 April 1988 Uskup Agung Leo Soekoto, SJ mengadakan kunjungan pertama kali ke Paroki Kedoya – St. Andreas. Beliau memimpin Misa Kudus di halaman sekolah Providentia bersama umat Paroki St. Andreas.
Peristiwa lainnya pada tahun ini adalah terbentuknya Mudika St. Andreas. Semula mereka menamakan diri sebagai “Kelompok 31”. Kemudian mereka mengadakan pertemuan di Pacet Puncak di dampingi P. Soesilasoewarna, MSC untuk memilih kepengurusan Mudika. Hasil pemilihan pada pertemuan Pacet terpilihlah Johanes Simon sebagai ketua Mudika pertama Paroki St. Andreas untuk periode 1988-1992. Mudika diresmikan dan dilantik tepatnya pada tanggal 5 Juni 1988. Berbagai gebrakan pun telah dilakukan oleh pengurus yang baru ini. Salah satunya mengikuti lomba Vokal Group antar Paroki se-dekanat Jakarta Barat. Walaupun baru didirikan Mudika St. Andreas ternyata berhasil meraih Juara II.
Hingga saat itu Pastor Ign.Soesilasoewarna MSC sebagai Pastor Kepala Paroki Kedoya tetap bertempat tinggal di Pastoran Paroki Grogol Gereja St. Kristoforus. Ini disebabkan karena beliau juga merangkap sebagai Pastor Kepala Paroki St. Kristoforus. Namun pada tanggal 2 September 1988 Uskup Agung Jakarta mengangkat Pastor Piet Hein Mogie MSC sebagai Pastor Kepala Paroki St. Andreas yang oleh Pastor Provincial MSC yaitu Pastor Yos Suwatan MSC (sekarang Uskup Manado), Pastor Piet H. Mogie MSC. diminta untuk bertempat tinggal di Paroki Kedoya. Karena saat itu di Paroki Kedoya belum ada gedung gereja dan Pastoran, maka Pastor Piet H. Mogie MSC menempati sebuah rumah kontrakan dijalan Surya Mustika – Sunrise Garden. Untuk beberapa waktu lamanya rumah ini dijadikan sebagai Pastoran sekaligus sebagai sekretariat Paroki sementara.
Di penghujung tahun 1988 Uskup Agung Mgr. Leo Soekoto, SJ kembali berkunjung ke Paroki Kedoya – St. Andreas. Kali ini Bapa Uskup memberikan Sakramen Krisma pertama kali di Paroki ini yang diadakan di kompleks pertokoan Sunrise Garden. Dalam perayaan ekaristi beliau didampingi P. Ign Soesilasoewarna, MSC dan P. Piet H. Mogie, MSC. Seusai mengadakan misa Kudus beliau melakukan tinjauan ke lokasi Gereja di Green Garden yang saat itu sedang dibangun gedung serbaguna sementara / “bedeng”. Bangunan serbaguna ini nantinya dipakai sebagai gedung gereja sementara sambil menunggu urusan perizinan pembangunan gedung gereja serta pengumpulan dana.
Dengan selesainya bangunan gedung serbaguna sementara / :”bedeng”, sejak tanggal 4 Juni 1989 segala kegiatan Paroki beralih ke gedung serbaguna sementara itu. Gedung ini lumayan luas dan lega walaupun kalah jauh dibandingkan dengan rumah-rumah disekitarnya. Di kompleks ini juga dibangun Balai Pengobatan, ruang kelas Santo Andreas dalam bentuk bangunan sementara.
Walau demikian perayaan Ekaristi sudah bisa dilaksanakan setiap Minggu bahkan telah dijadwalkan pagi jam 7.30 dan sore hari jam 16.30. Sejak Agustus 1989 Misa Kudus ditambah lagi pada Sabtu sore pukul 18.00 (sekarang pukul 16.30).
Untuk kelancaran tugas pelayanan dan penggembalaan Pastor Paroki, Dewan Paroki membeli satu rumah sederhana yang berada tepat dilokasi bakal gedung gereja (yang sekarang lokasi tersebut berdiri gedung sekolah St. Andreas) untuk dijadikan Pastoran sementara.
Merintis Karya Pendidikan
Di dalam tugas-tugas pendidikan dan pewartaan, Pastor Mogie MSC dibantu oleh para Suster dari Konggregasi Hati Kudus (HK) yang berpusat di Teluk Betung, Bandar Lampung.
Untuk menangani bidang pendidikan secara serius, pada tanggal 19 Oktober 1990 di hadapan Notaris Lieke Lianadevi Tukgali S.H terbentuklah Badan Hukum Yayasan Karya Kasih. Yayasan Karya Kasih ini adalah perangkat Dewan Paroki Kedoya untuk mengelola sekolah. Berkat dukungan umat dan hasil kerja Yayasan Karya Kasih, maka berdirilah sekolah baru dengan 9 ruangan di atas tanah milik Kongregasi MSC. Dana pembangunan sekolah baru ini lebih kurang Rp. 60 juta. Pada tanggal 24 November 1991 gedung sekolah dengan 9 ruangan diberkati oleh Bapa Uskup Mgr. Leo Soekoto SJ setelah misa Lustrum II di Paroki St. Andreas.
Pada tahun ajaran 1993/1994 didirikan lagi 7 ruangan kelas di atas tanah milik Green Garden yang dipinjamkan atas usaha dari Bapak Rudy Pratikno (Kelak tanah ini bergabung dengan lokasi tanah 101A menjadi milik Paroki Kedoya). Hal ini disebabkan karena jumlah murid terus berkembang .
Merintis berdirinya bangunan Gereja
Apa yang telah dicapai pada masa itu termasuk penyediaan fasilitas pendukung Paroki ini tidak lepas dari usaha keras PPG I (Panitia Pembangunan Gereja) yang resmi diangkat dan mulai berkarya sejak tangal 27 November 1987. Sejak semula PPG I ini dibentuk dengan tugas utama membangun gedung gereja mulai dari pencarian dana, pencarian tempat, pengurusan IMB dan sebagainya.
Pembangunan gedung Gereja
Dari hasil pencarian dan survey yang telah dilakukan, lebih kurang ada tujuh usulan titik lokasi yang telah ditemukan antara lain Taman Ratu, Sunrise Garden, Puri Indah dan Green Garden blok J5 No. I. Tawaran dari Kompleks Puri Indah sempat diajukan ke KAJ namun tawaran tersebut tidak diterima karena lokasinya kurang sentral untuk Paroki baru ini. Lalu pada akhirnya PPG-I memilih lokasi di Green Garden Blok J 5 No. 1 dengan luas lahan 6.000 meter persegi. Lokasi ini kemudian disampaikan kepada KAJ dan disetujui.
Beberapa pertimbangan yang mendasar mengapa memilih kompleks Green Garden sebagai pusat pembangunan Paroki antara lain mempertimbangkan lingkungan sekitar, letaknya yang sentral dan luas tanah yang tersedia di Blok J5 No. I ternyata cocok untuk pengembangan Paroki yang baru ini. Hal lain yang memudahkan dalam penentuan lokasi tersebut adalah bantuan Bapak Dewanto Kurniawan sebagai Owner perumahan Green Garden. Selain itu juga peran Bapak Rudy Pratikno sebagai salah satu “orang dalam” kompleks perumahan ini yang ikut membantu. Beliaulah yang semula menginformasikan mengenai lokasi ini.
Untuk pelaksanaannya, Panitia Pembangunan Gereja memberikan kepercayaan kepada salah satu perusahaan yaitu Biro Arsitek Han Awal dan Partners untuk membuat disain gereja pada sekitar bulan Mei 1989. Kemudian Konsultan mengadakan semacam sayembara kecil yang mengikut-sertakan arsitek-arsitek yang ada dari yang senior sampai junior bahkan praktikan asal Belanda semuanya dilibatkan. Dari hasil sayembara tidak kurang ada delapan alternatif disain gedung gereja St. Andreas yang saat itu dirancang pada lahan yang masih utuh dengan fasilitas-fasillitas penunjang seperti gedung pertemuan, fasilitas kesehatan masyarakat dan lain – lain. Lalu ke delapan alternatif tersebut dibawa dan dikonsultasikan kepada Romo Van Op Zeeland, SJ sebagai penanggung jawab Pengawas dari KAJ. Akhirnya didapat satu rancangan yang disetujui untuk dikembangkan. Langkah selanjutnya biro konsultan segera mengembangkan desain serta membuat gambar dan struktur disertai maket presentasi.
Sayang, pada pertengahan realisasi rancangan ini, ada berita yang bahwa lahan gereja akan terpotong oleh jalan dan terpisah menjadi 3 bagian. Maka dicarilah solusi supaya pembangunan gedung gereja tetap terlaksana. Maka biro konsultasi mengusulkan rancangan yang baru dan berbeda karena kebutuhan dan tata ruang yang ada sudah tak sesuai lagi. Maka akhirnya gedung gereja St. Andreas dirancang di atas lahan yang tidak beraturan. Setelah beberapa lama maka desain gedung gereja St. Andreas yang baru dapat terwujud.
Beberapa konsep dasar perancangan ke 2 gedung gereja St. Andreas waktu itu adalah fungsional, nyaman, ramah, terbuka dan juga dikaitkan dengan keadaan alam (tropis) serta budaya di Indonesia pada umumnya. Tentu dengan site yang tidak beraturan tersebut sangat sulit merancang Gereja dengan bentuk-bentuk geometry, segi empat, segi tiga dan sebagainya. Dengan demikian denah mengikuti site yang sudah ada dan yang paling cocok adalah konsep organik. Konsep organik pada bangunan Gereja yang terkenal seperti Gereja Ronchamp Notre Dame du Haut di Prancis, karya Arsitek Legendaris Le Corbusier dengan denah yang meliuk-liuk seperti keong, menghasilkan Gereja berbentuk sculpture yang nyaris sempurna.
Dinding-dinding Gereja dilapisi batu-batu alam pecah dengan total tebal dinding 30 cm. Batu alam pecah ini dipilih untuk memberikan kesan yang kokoh mudah didapat dan sederhana dalam perawatannya. Dinding yang terpisah dari atap memberikan kesan kokoh dan ringan. Sedangkan mozaik beton dirancang untuk ventilasi dan cahaya. Dari segi arsitek dimaksudkan untuk meluweskan dinding batu dari kesan kokoh yang berlebihan. Ide ini merupakan inspirasi dari Romo YB Mangunwijaya (alm) di Pertapaan Trapis, Gedono Salatiga yang berfungsi ganda sebagai pintu, jendela dan ventilasi dan cahaya sekaligus unsur artistik dari pertapaan yang keras tersebut.
Lantai Gereja menggunakan keramik granit lokal kombinasi warna coklat tua dan abu-abu berukuran 30 x 30 cm. Sedangkan lantai teras menggunakan batu alam pecah yang disusun dengan pola persegi. Selain itu plafond Gereja berbentuk bidang lipat, dicat putih dilengkapi dengan tempat lampu, sound system dan lain sebagainya. Warna putih untuk memberikan kesan ringan, luas dan terang. Dalam rangka plafond juga dilengkapi dengan glasswool untuk meredam panas matahari dari luar. Atap Gereja berwarna Terracotta dengan talang air dari bahan GRC, bahan genteng berbentuk pelat merk Tegola.
Namun pada umumnya umat banyak menafsirkan gedung gereja St. Andreas seperti sebuah kapal dengan layar-layarnya (menara). Elemen-elemen Gereja seperti menara Gereja diambil dari unsur-unsur arsitektur tradisional Indonesia dimana penyelesaian atap / puncak dapat ditemui pada bangunan-bangunan candi / arsitektur Hindu yang berupa Makara / Mahkota dan bangunan-bangunan ibadah lainnya seperti masjid-masjid tradisonal, bangunan tradisional, kraton-kraton (Jawa-Bali). Menara Gereja / lonceng terbuat dari rangka Baja dilapisi aluminium (indaleex alluminium) dengan puncaknya dilapisi kuningan / tembaga. Menara lonceng juga berfungsi sebagai ventilasi udara untuk mengeluarkan udara panas dari dalam keluar. Kelak kemudian setelah sekitar 7 tahun lamanya, barulah gereja dengan konsep organik ini dapat direalisasikan, karena tidak mudahnya memperoleh ijin pembangunan gereja saat itu.
Berbagai kegiatan dan aktivitas Paroki tidak mungkin menunggu gereja yang megah dan indah ini. Oleh karena itu, setelah Panitia memperoleh tanah, dilakukan pembentukan tim untuk memulai pembangunan bedeng sambil menunggu perijinan IMB gereja yang permanen. Pertama pada awal tahun 1989 mulai dibangun gedung gereja sementara (bedeng) di Blok J5 No.1 yang berdiri tepatnya di atas gedung gereja permanen yang sekarang ini. Bedeng ini mulai dipakai sebagai tempat perayaan ekaristi sejak 4 Juni 1989. Begitupun dengan berbagai kegiatan Seksi dipusatkan di gedung ini.
Setelah keluar IMB tanggal 16 Juli 1993, bedeng ini dibongkar lagi dan dipindahkan ke lokasi di sebelah selatan yang sekarang dijadikan aula. Bedeng ini dipakai sebagai gereja selama sekitar 1,5 tahun lamanya.
Proses perizinan gereja cukup lama, karena dalam peraturannya menentukan bahwa pembangunan rumah Ibadat harus mendapat ijin prinsip dari gubernur. Sedangkan apabila luas arealnya melebihi 5.000 m2 maka harus juga memohon SIPPT ( Surat ijin penunjukan penggunaan tanah ). Karena proses perijinannya harus melalui Bapak Gubernur tentu saja membutuhkan jangka waktu lama. Hal lain juga karena ada bagian dari tanah ini juga direncanakan untuk menjadi jalan tembus ke jalan Kedoya Raya dalam rencana tata kota. Namun berkat rahmat dan kuasa TUHAN serta upaya Pastor Paroki, para pengurus Dewan Paroki dan Panitia Pembangunan Gereja I dan II yang gigih, akhirnya diperoleh juga semua ijin yang diperlukan dan Gereja St. Andreas dapat dibangun .
Usaha pengumpulan danapun terus dilakukan, walaupun perijinan berjalan sangat lambat. Dana yang diperoleh dari sumbangan dan iuran tetap bulanan saat itu berasal dari lingkungan dan bentuk kegiatan gereja lainnya. Paroki Kedoya juga mendapat kesempatan untuk memungut kolekte pembangunan gereja di Paroki Kristoforus sebagai induk Paroki ini.
Suka duka Doa dalam Bedeng
Selama menggunakan bedeng dari 4 Juni 1989 hingga pindah ke gedung gereja yang baru 6 November 1994, banyak suka-duka yang dialami umat dan Pastor terutama saat misa berlangsung. Misalnya, saat umat sedang hening dalam doa sering dikagetkan dengan lemparan batu yang kemudian berguling di atas atap bedeng. Hal tersebut berkali-kali terjadi. Rupanya masih ada satu dua orang warga yang kurang berkenan dengan kehadiran gereja di tempat ini. Berbagai pendekatan kepada tokoh dan warga masyarakat terus dilakukan oleh Pastor dan pengurus Dewan Paroki. Hal ini tentu saja dilakukan tidak hanya untuk menarik simpatik tetapi juga merupakan misi gereja untuk membangun persaudaraan sejati di mana pun gereja hadir termasuk di wilayah kedoya ini.
Dari kunjungan dan dialog itu memnang kemudian tercipta persaudaraan. Masyarakat sekitar pun tidak keberatan untuk memberikan persetujuan dalam bentuk kesediaan mereka untuk menandatangani surat persetujuan pembangunan gereja sebagaimana diisyaratkan dalam peraturan pendirian rumah ibadat di Indonesia. Beberapa tokoh masyarakat sekitar menolong pengurusan ijin ke kecamatan.
Pada tahun 1989 terjadi pergantian pengurus Dewan Paroki baik pengurus dewan harian maupun dewan pleno. KAJ menetapkan susunan Dewan Paroki untuk periode 1989-1991.
6 Tahun Menanti IMB
Untuk merealisasikan pembangunan gereja seperti yang telah dikonsepkan ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Bukan cuma masalah pengumpulan dana pembangunan tetapi juga faktor-faktor lainnya. Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa pembangunan gedung gereja tidak semata-mata ditentukan secara internal Paroki. Faktor-faktor lain di luar ikut bahkan sangat menentukan. Proses perizinan misalnya membutuhkan kesabaran dan keuletan panitia.
Dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1969 (SKB ini sekarang digantikan oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006,) mengatur syarat-syarat pendirian rumah ibadat yang antara lain dalam pasal 4 ayat (1) dikatakan setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapat izin dari Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Dalam memberikan izin tersebut maka kepala daerah mempertimbangkan pendapat kepala perwakilan agama setempat, planologi, dan kondisi keadaan setempat (ayat 2). Dalam ayat tiga pada pasal yang sama juga dikatakan apabila dianggap perlu Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama, rohaniawan setempat. Ketentuan tersebutlah yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh PPG. Untuk memenuhi ketentuan tersebut PPG harus bekerja keras dan melakukan berbagai pendekatan baik kepada birokrasi maupun kepada masyarakat di sekitar gereja ini.
Untuk mempercepat proses pembangunan selanjutnya maka Dewan Paroki pada Nopember 1992 membentuk dan mengangkat PPG II. Sebagai Ketua Panitia ditunjuk Bapak M. Indradi Kusumah berdasarkan surat pengangkatan Nomor 089/UM/XI/1992 tanggal 1 November 1992.
Perkembangan umat Paroki
Umat Paroki terus berkembang sehingga wilayah dan lingkungan-lingkungan terus dimekarkan, dan juga Seksi serta kelompok kategorial.
Dewan Paroki dari masa ke masa
Dari masa ke masa Dewan Paroki Kedoya telah mengalami kepengurusan sebagai berikut :
1. | Tahun 1986 – tahun 1989 : | ||
Ketua | : | P. Ign Soesilasoewarna MSC | |
Wakil Ketua | : | Andreas Yootje Yoprang (digantikan oleh Thomas Kristijono) | |
Sekr. I | : | Robert Kosasih | |
Sekr. II | : | Alfons Wilarto | |
Bendahara I | : | A. Robertus Winarto | |
Bendahara II | : | Edmundus Chaspuri | |
Anggota | : | Ignatius Rudy Pratikno | |
2. | Tahun 1989 – tahun 1991 : 1989 s/d 1 Okt. 1991 | ||
Ketua | : | P. Petrus Mogie MSC | |
Wakil Ketua | : | Michael Haribowo | |
Sekr. I | : | Y. Suhendra | |
Sekr. II | : | Frans Sulaeman | |
Bendahara I | : | Edy Ruslan | |
Bendahara II | : | Henricus Darmada | |
Anggota | : | A.G. Rusli | |
: | |||
3. | Tahun 1991 – tahun 1994 : 1 Okt. 1991 – 17 Maret 1995 | ||
Ketua | : | P. Petrus H. Mogie MSC | |
Wakil Ketua | : | Frans Sarino | |
Sekr. I | : | Peggy Rahardja | |
Sekr. II | : | Edy Ruslan | |
Bendahara I | : | Nieke Santoso | |
Bendahara II | : | A.G. Rusli | |
Anggota | : | John Tinggogoy MSC | |
Henry Wibisono | |||
Robert Kosasih | |||
Donna Pratikno | |||
4. | Tahun 1994 – tahun 1997 : 17 Maret 1995 s/d 23 Pebr. 1998 | ||
Ketua | : | P. Johanis Mengko, MSC | |
Wakil Ketua | : | Hendy Hermanto | |
Sekr. I | : | Sanjaya Raharja | |
Sekr. II | : | Lily Anwar | |
Bendahara I | : | Nieke Santoso | |
Bendahara II | : | Intan Hardy Widjaja | |
Anggota | : | Ignatius Sanjaya | |
: | Rudy Pratikno | ||
: | Robert Kosasih | ||
5. | Tahun 1997 – tahun 2000 : 23 Pebr. 1998 s/d 31 Jan. 2001 | ||
Ketua | : | P. Johanis Mengko MSC | |
: | ( Mulai 1/1/1999 digantikan P. M. Yatno Yuwono MSC ) | ||
Wakil Ketua | : | Intan Hardy Widjaja | |
Sekr. I | : | Hendra Widjaja | |
Sekr. II | : | Endang Soesilo Wibisono ( Lily Anwar ) | |
Bendahara I | : | Halim Santoso | |
Bendahara II | : | Gerardus Fon Sin | |
Anggota | : | M. Yatno Yuwono MSC | |
: | ( kemudian digantikan P. Y.Lasono Wibowo MSC ) | ||
: | Rimawati Hananto | ||
: | L. Herlianto | ||
: | YP Sunardi | ||
: | A. Wilarto | ||
6. | Tahun 2001 – tahun 2003 : 31 Jan. 2001 – 5 Jan 2004 | ||
Ketua | : | P. M. Yatno Yuwono MSC | |
Wakil Ketua | : | A. Jahja Hendrata | |
Sekr. I | : | Albert Agung Aliudin | |
Sekr. II | : | Donna Pratikno | |
Bendahara I | : | Gerardus Fon Sin | |
Bendahara II | : | Anastasia Tenny | |
Anggota | : | P. Y. Lasono Wibowo MSC | |
: | ( kemudian digantikan P. L. Wisnu Agung Widodo MSC 1/8/2002 dan P. Y. Purwo Dwiatmodjo MSC 1/4/2003 ) | ||
: | Edison Djingga | ||
: | F.A. Wijiyono | ||
: | Sanjaya Raharja | ||
: | Laksmono Budiono | ||
: | M. Herimanto | ||
: | Rimawati Harso | ||
7. | Tahun 2004 – tahun 2006 : 5 Jan. 2004 s/d 5 Jan.2007 | ||
Ketua | : | P. Y. Purwo Dwiatmodjo MSC ( mulai 15/8/2004 digantikan P. A. Heru Jati Wahyuno MSC | |
Wakil Ketua | : | Frans Gunterus | |
Sekr. I | : | Dharma Budiman | |
Sekr. II | : | Peter Gunawan Surya | |
Bendahara I | : | M. Charles Tampubolon | |
Bendahara II | : | Anastasia Tenny | |
Anggota | : | P. Joseph Santoso MSC ( kemudian pindah tugas ke Paroki Pluit ) | |
: | Edison Djingga | ||
: | F.Asisi Wijiyono | ||
: | Laksmono Budiono | ||
: | F.X.Tugino | ||
: | C. Inderayana Hardjosantoso | ||
: | Hindrawati Tjahyani | ||
: | Hasan Gustan |
Semua Bersyukur atas Gereja yang Baru
Patut dicatat selama kurun waktu itu dari tahun 1986 hingga tahun 1994 kerinduan yang terbesar seluruh umat adalah dibangunnya gedung gereja yang permanen di Paroki ini. Sesungguhnya secara internal dana sudah cukup untuk memulai pembangunan walaupun belum semuanya tersedia. Dana yang diperoleh waktu itu sebagian berupa dana pinjaman dari Keuskupan Agung Jakarta sebagai modal awal. Berbagai kegiatan PPG dalam pengumpulan dana juga membuahkan hasil. Namun, pembangunan belum bisa dimulai karena belum mendapat IMB. Ketua PPG II Bapak Indradi Kusumah bersama bidang perizinan Bpk Rudy Pratikno dan Bpk Intan Hardy Widjaja bersama terus berusaha melakukan berbagai pendekatan kepada berbagai pihak baik kepada lingkungan sekitar maupun kepada instansi-intansi terkait. Seluruh anggota PPG II dan Dewan Paroki juga bergerak untuk secepatnya merealisasikan pembangunan gereja ini.
Seluruh usaha itu terjawab pada tanggal 19 Desember 1992 dengan terbitnya Ijin Pendahuluan Ijin Mendirikan Bangunan dan selanjutnya pada tanggal 16 Juli 1993 dengan diterbitkannya IMB untuk Gereja St. Andreas. IMB tersebut tertuang dalam keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 7590/IMB/1993.
Sejak itu dimulailah pembangunan Gereja yang diawali dengan peletakan batu pertama Gereja St. Andreas oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto, SJ pada tanggal 13 Juni 1993 dalam sebuah perayaan Ekaristi di “bedeng”. Dalam kotbahnya, Mgr. Leo Soekoto bergurau namun mengena : “Begitu saya masuk kompleks perumahaan Green Garden saya kagum dengan rumah-rumah yang mewah. Tapi begitu saya tiba di gereja saya melihat gedung ini mirip kandang ayam,” begitu Uskup bercanda yang tentu saja disambut dengan senyum oleh seluruh umat. Uskup berharap gereja St. Andreas dapat segera dibangun.
Desain Gereja yang hendak dibangun tersebut adalah hasil karya dari biro arsitek Han Awal yang telah disetujui oleh Keuskupan Agung Jakarta beberapa waktu sebelumnya. Selama proses pembangunan ini ada saja kendala-kendala yang apabila tidak diatasi dengan baik bisa menggagalkan proyek ini. Setelah 16 bulan pengerjaan fisik, gedung gereja akhirnya rampung pada akhir Oktober 1994.
Pemberkatan gedung gereja Paroki Kedoya dilakukan oleh Uskup Agung Leo Soekoto SJ, dan peresmiannya dilakukan oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto SJ bersama Bapak Walikota Jakarta Barat, Drs. Sutardjianto pada tanggal 26 November 1994. Hadir pula Mgr. P.C. Mandagie MSC, P. Piet H. Mogie MSC, P. Ign. Soesilasoewarna MSC, Bapak Dipl. Ing Hans Awal, Sr. Sriyani Hk, Bapak Frans Hendrawan, bapak Indradi Kusuma (ketua PPG-II) serta seluruh pengurus lingkungan, wilayah, Seksi-Seksi, organisasi, umat serta para undangan lainnya.
Setelah gedung gereja St. Andreas dipublikasikan, ternyata gedung ini merupakan gereja terbaik di Asia Tenggara dalam hal designnya. Maketnya memperoleh hadiah pertama di Jepang karena memiliki arsitektur yang unik di mana sisi kanan dan kiri berbeda satu dengan yang lain dan tidak memiliki titik pusat/simetris jika dilihat dari segala arah. Bahkan Romo Mangunwijaya SJ sempat menikmati keanggunannya.
Saat peresmian gedung gereja St. Andreas, tercatat umat Paroki juga telah berkembang dari 4 wilayah pada peresmian tahun 1986 menjadi 6 wilayah. Sedangkan perkembangan lingkungan bermula dari 10 lingkungan menjadi 23 lingkungan. Dan jumlah ini masih terus berkembang sebab ada beberapa lingkungan dimana jumlah umatnya bertambah, serta dengan terus berlangsungnya pembangunan rumah baru di kawasan Green Garden dan Taman Ratu.
Terima Kasih Pastor Mogie, Selamat Datang Pastor Mengko
Selama kurang lebih selama 6 tahun Pastor Piet H. Mogie, MSC menggembalakan umat di Paroki Kedoya. Selama kurun waktu itu suka dan duka membangun Paroki sudah dialaminya bersama umat. Beliau berkarya di Paroki ini di saat fasiltas Paroki belum semuanya tersedia. Namun, dalam kondisi demikian Pastor Mogie berusaha memberikan yang terbaik dari semangat pelayanannya dengan meletakkan dasar bagi perkembangan Paroki ini ke depan. Dalam sambutannya saat peresmian gereja beliau mengatakan pembangunan fisik tidak lepas dari pembangunan umat supaya mandiri, misioner, berdaya pikat, dan berdaya tahan. Dan pada gilirannya memberi buah-buah yang matang yaitu: amal bhakti, cinta persaudaraan dan berperan serta dalam pembangunan masyarakat.
Kebersamaan seluruh umat dengan Pastor Mogie ini selaku Pastor Kepala Paroki berakhir juga, karena pada tanggal 25 Februari 1995 beliau beralih tugas ke Paroki lain. Umat Paroki Andreas melepas kepergian beliau ke tempat tugas yang baru sambil menyimpan kenangan tak terlupakan sejak ia merintis pembangunan gereja hingga akhirnya gereja yang didamba-dambakan itu menjadi kenyataan pada November 1994.
Beliau kemudian digantikan oleh Pastor Johanis Mengko MSC sebagai Pastor Kepala Paroki St. Andreas yang baru. Pastor Mengko MSC sebelumnya menggembalakan umat nun jauh di timur yakni di Paroki Salib Suci, Keuskupan Agung Merauke selama sekitar 10 tahun, 1984-1994. Setelah gedung gereja dibangun, kehadiran Pastor Johanis Mengko MSC memberikan sentuhan yang lain lagi sehingga Paroki ini semakin hari semakin dewasa. Hal ini tampak pada program-program dan gebrakan-gebrakannya di tahun-tahun kepemimpinannya.
Masih pada tahun 1995, tepatnya pada tanggal 9 Juni Mgr. Leo Soekoto, SJ berkenan mengunjungi Paroki St. Andreas untuk mempersembahkan misa Kudus yang dilanjutkan dengan acara dialog dengan pengurus Paroki St. Andreas. Kunjungan Bapa Uskup ini merupakan kunjungan yang terakhir kalinya sebelum beliau wafat pada tanggal 30 Desember 1995 dan setelah sebelumnya beliau mengundurkan diri dari jabatannya yakni pada tanggal 15 November 1995. Dalam pesannya saat itu Uskup mengajak agar umat Paroki ikut aktif dalam kegiatan apostolik dan pewartaan. Inilah pesan terakhir beliau kepada umat di Paroki Kedoya ini.