Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Beato Dionisius a Nativitate dan Beato Redemptus a Cruce, Martir Indonesia (1 Desember)

Beato Dionisius dan Redemptus a Cruce, Martir Indonesia | Sebuah ...

Pierre Berthelot lahir pada tanggal 12 Desember 1600 di Honfleur, Perancis. Ayahnya bernama Berthelot dan ibunya bernama Fleurie Morin yang merupakan berasal dari keluarga bangsawan ternama pada masa itu. Pierre mempunyai 5 saudara laki-laki yang bernama  Franscois, Jean, Andre, Geoffin dan Louis. Semua saudaranya mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pelaut.

Ayah Pierre adalah seorang dokter dan juga seorang nahkoda kapal. Sejak masih berusia 12 tahun, Pierre telah ikut bersama ayahnya mengarungi lautan luas, sampai akhirnya diusia 19 tahun, Pierre sudah menjadi seorang pelaut yang luar biasa. 

Selain mewarisi darah pelaut, ternyata ayahnya juga mewarisi hidup keagamaan yang baik kepada anak-anaknya. Hal ini bisa terlihat dari sikap Pierre yang rendah hati, kuat dalam iman, kemurnian dan rela berkorban. 

Kemudian, Pierre pun memasuki dinas perusahaan dagang Perancis. Untuk menjalankan tugasnya, Pierre pun harus berlayar sampai ke Banten, Indonesia. Akan tetapi, kapal-kapalnya tersebut dibakar oleh para saudagar Belanda dari kongsi dagang VOC. Namun, berkat pengalamannya dibidang lautan, Pierre bisa membuatkan peta laut yang akan menjadi petunjuk jalan. 

Setelah itu, Pierre bekerja di angkatan laut Portugis yang berada di Goa, India. Namun, selama bekerja disana, ada 1 keresahan yang mengusik hatinya. Ia selalu merenungkan dan mencari arti hidup yang lebih mendalam. Walaupun saat itu, ia sudah berusia 35 tahun, Pierre tetap menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi seorang biarawan. Lalu, Pierre pun masuk Biara Karmel dengan nama biara baru yaitu Dionisius a Nativitate. 

Walaupun sudah tinggal dalam biara, Dionisius tetap membantu pemerintah dalam menggambar peta dan mengangkat senjata untuk menggagalkan blokade di Goa India oleh armada Belanda pada tahun 1636. 

BERSYUKUR ATAS BELAS KASIHAN YESUS

Di Biara Karmel inilah Dionisius bertemu dengan Redemptus a Cruce yang merupakan seorang bruder Karmel yang bertugas sebagai penjaga pintu biara, koster, penerima tamu dan pengajar anak-anak. Redemptus mempunyai nama asli dari orangtuanya yaitu Thomas Rodriguez da Cunha. Sejak masih muda, Redemptus sudah masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Namun, karena adanya panggilan untuk menjadi seorang biarawan, maka ia meninggalkan pekerjaannya tersebut dan menjadi seorang bruder Karmel. 

Suatu hari, Raja Muda Goa, India mengutus beberapa utusannya untuk pergi ke Aceh. Raja Muda bermaksud ingin memperbaiki hubungannya dengan Sultan Iskandar Thani. Karena Dionisius mempunyai pengalaman berlayar ke Banten, Indonesia, maka ia pun ditunjuk sebagai almosenir, juru bahasa dan pandu laut. Maka dari itu, Dionisius pun ditahbiskan menjadi seorang imam lebih cepat pada tahun 1637 oleh Mgr. Alfonso Mendez. Atas izin dari atasan biaranya, Redemptus pun turut ikut serta dalam perjalanan dinas ini sebagai pembantu. 

Lalu, Dionisius beserta 65 orang lainnya berlayar menuju ke Aceh, Indonesia pada tanggal 25 September 1638. Mereka pun berlabuh di Ole-Ole (Kotaraja) dan mereka disambut dengan ramah oleh penduduk disana.

Akan tetapi, ternyata sikap baik itu hanyalah tipu muslihat saja, karena orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang untuk meng-katolik-kan kota Aceh yang sudah memeluk agama Islam. Akibat isu yang tidak benar itu, maka Dionisius dan rombongannya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Mereka disiksa agar menyangkal imannya. Selama sebulan, mereka disiksa dalam penjara dalam keadaan yang menyedihkan. Beberapa dari mereka sudah ada yang menyangkal iman mereka, namun Dionisius dan Redemptus tetap setia berpegang pada iman mereka dengan memberikan peneguhan iman dan hiburan. 

Katakombe.Org - Beato Dionisius a Nativitate

Sampai pada akhirnya, Dionisius dan rombongannya dibawa ke pesisir pantai. Tentara sultan mengumumkan bahwa mereka akan dihukum mati bukan karena mereka berkebangsaan Portugis, melainkan karena mereka beragama Katolik. Mengetahui hal tersebut, Dionisius dan rombongannya pun berdoa. Dionisius pun mengambil salib dan memperlihatkanNya kepada teman-temannya supaya jangan mundur, tetapi berani mengorbankan nyawanya bagi Kristus yang terlebih dulu sudah mengorbankan nyawaNya untuk menebus dosa-dosa manusia. Dionisius memohon ampun kepada Tuhan dan memberikan absolusi terakhir kepada mereka satu per satu. Setelah itu, dengan segera tentara menyeret Dionisius dan terjadilah pembantaian massal. 

Setelah semua teman-temannya, termasuk Redemptus meninggal dunia, Dionisius masih bersaksi tentang Kristus dengan penuh semangat. Para tentara algojo dan rakyat Aceh semakin marah serta beringas untuk membunuh Dionisius. Namun, langkah mereka terhenti didepan Dionisius. Mereka berusaha menghunuskan tombak dan kelewang kepada Dionisius, tetapi usaha mereka gagal karena tertahan oleh suatu kekuatan, sehingga mereka pun tidak berani membunuh Dionisius.

Fans Katolik: Para Martir di aceh

Kemudian, kepala algojo meminta bantuan untuk bisa membunuh Dionisius. Lalu, Dionisius pun berdoa kepada Tuhan agar niatnya menjadi martir dikabulkan. Selesai berdoa, Dionisius menyerahkan diri kepada para algojo. Maka, seorang algojo Kristen yang sudah murtad, mengangkat gada dan disambarkan sekeras-kerasnya, disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya. Peristiwa mengenaskan ini terjadi pada tanggal 29 November 1638.

Kemartiran Dionisius dan teman-temannya pun diterima oleh Tuhan. Setelah 7 bulan berlalu, jenazah mereka masih segar seperti orang tertidur. Ada juga saksi mata yang melihat, jenazah Dionisius selalu kembali ke tempat semula setiap kali dibuang ke tengah laut atau pun dibuang ke hutan. Karena misteri itu, maka jenazah Dionisius tetap disemayamkan disana dan sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan Pulau Dien (Pulau Buangan). Kemudian, jenazahnya pun dipindahkan ke Goa, India. Dionisius dan Redemptus akhirnya diberi gelar Beato pada tahun 1900 oleh Paus Leo XIII.

Leave a comment