
Tarsisius lahir dan hidup pada abad ke 3 yang berasal dari Roma, Italia. Ia juga hidup pada masa penganiayaan umat Kristiani dibawah pimpinan Kaisar Valerianus. Tarsisius dikenal juga sebagai pelayan altar (akolit).
Ketika usianya 10 tahun, Tarsisius dan ibunya selalu menghadiri misa pagi. Karena saat itu masih pada masa penganiayaan umat Kristiani, maka misa pun diadakan secara sembunyi di ruang bawah tanah yang dijadikan sebuah kapel atau yang disebut dengan katakombe. Untuk memasuki kapel itu, Tarsisius harus memeriksa keadaan sekelilingnya terlebih dahulu. Setelah dirasa sudah aman, ia mengetuk pintu batu, lalu ia merangkak masuk sampai ia berada di ruang tengah yang sudah berubah menjadi sebuah kapel dan banyak umat Kristiani yang sedang berdoa disana. Setiap kali pastor berkata, “Makanlah dan minumlah, inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku”, Tarsisius merasakan kedamaian dalam hatinya.
Sampai suatu hari, selesai memimpin misa, seorang pastor berkata sambil melihat ke sekeliling, “Kita sama seperti saudara-saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa- singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?” Mendengar pertanyaan itu, semua umat saling pandang dan ketakutan. Bahkan, ada seorang umat yang melarang pastor untuk mengantarkan Hosti Kudus itu karena sudah pasti ia akan ditangkap. Begitu juga dengan seorang mantan serdadu Romawi yang sudah bertobat. Ia juga disarankan untuk tidak mengantarkan Hosti Kudus itu karena ia sendiri sedang diincar.
Karena tidak ada yang berani, maka Tarsisius pun melihat ibunya dan seketika itu juga ibunya langsung mengerti dan mengizinkan anaknya yang masih kecil itu untuk mengantarkan Hosti Kudus itu ke penjara. Pada awalnya pastor menolak tawaran Tarsisius karena usianya yang masih terlalu kecil. Namun, Tarsisius berhasil meyakinkan pastor sambil berkata, “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.” Melihat keberanian Tarsisius, pastor pun memberikan Hosti Kudus itu kepadanya dan Tarsisius pun segera pergi ke penjara.
Tarsisius bisa melewati daerah para serdadu Romawi dengan aman. Namun, ketika Tarsisius melewati daerah lapangan bermain, ia bertemu dengan teman-temannya. Melihat Tarsisius lewat, teman-temannya mengajak Tarsisius ikut bermain bersama, tetapi Tarsisius menolaknya. Teman-temannya merasa heran dan mulai penasaran dengan yang dipegang oleh Tarsisius. Mereka menarik tangan Tarsisius dan berusaha melihat yang ada ditangannya itu. Akan tetapi, Tarsisius mempertahankan dengan kuat Hosti Kudus itu agar tetap berada ditangannya, sampai ia pun terjatuh.
Melihat kelakuan Tarsisius yang semakin kuat memegang Hosti Kudus, ada seorang anak yang sudah merasa kesal dan menantang Tarsisius adu kekuatan. Lalu, ia mengambil batu dan melemparinya kepada Tarsisius. Tubuh Tarsisius sempat menghindar, meskipun tangannya tidak terlepas dari Hosti Kudus dan ia semakin kuat memeluk Hosti Kudus itu didadanya. Teman-temannya yang lain pun jadi ikut-ikutan melempari Tarsisius dengan batu sampai ia tidak sadarkan diri. Tiba-tiba terdengar suara mantan serdadu Romawi yang ternyata diam-diam mengikuti Tarsisius dari belakang. Teriakan mantan serdadu Romawi itu, membuat teman-teman Tarsisius menghentikan aksi mereka dan lari terbirit-birit.
Kemudian, mantan serdadu Romawi itu berlari dan memeluk Tarsisius dengan perasaan sedih. Ia menggendong tubuh Tarsisius yang sudah sangat lemah dan dengan suara pelan, Tarsisius berkata, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah itu, Tarsisius meninggal dunia dalam perjalanan kembali ke kapel bawah tanah atau katakombe, tempat ia merayakan misa sebelumnya. Lalu, ia pun dimakamkan di Katakombe Santo Kalistus, Roma. Santo Tarsisius dihormati sebagai santo pelindung bagi para putra-putri altar.
